Kamis, 15 Desember 2011

IODOMETRI DAN IODIMETRI


Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini tepat hilang.
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:
IO3-  + 5 I-  + 6H+  -> 3I2  + H2O
I2 + 2 S2O32-  -> 2I- + S4O62-
Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-) sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-.
Mengapa kita menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit? Beberapa alasan yang dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut:
Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat  akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum
Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).
S2O32-  +  2H+  ---> H2SO3 + S
Pastikan jumlah iodide yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.
Bagaimana menstandarisasi larutan tiosulfat?
Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa oksidator  yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II).
Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendekati titik akhir titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis reaksi tersebut.
Beberapa contoh reaksi iodometri adalah sebagai berikut
2MnO4-  + 10 I- + 16 H+  <---> 2Mn2+  + 5 I2 + 8H2O
Cr2O72- + 6I- <---> 14 H+  <---> 2Cr3+  + 3 I2 + 7H2O
2Fe3+  +  2I-  <---> 2Fe2+  + I2
2 Ce4+  + 2I-  <---> 2Ce3+ + I2
Br2  + 2I-  <-> 2Br-  + I2
I.       TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan percobaan praktikum ini adalah untuk menentukan kadar tembaga dalam kristal CuSO4.5 H2O.
II.     TINJAUAN PUSTAKA
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan  reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja (Khopkar, 2003).
Oksidator lebih jarang ditentukan dibandingkan reduktor. Namin demikian, oksidator dapat ditentukan dengan reduktor. Reduktor yang lazim dipakai untuk penentuan oksidator adalah kalium iodida, ion titanium(III), ion besi(II), dan ion vanadium(II). Cara titrasi redoks yang menggunakan larutan iodium sebagai pentiter disebut iodimetri, sedangkan yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter disebut iodometri (Rivai, 1995).
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium.  Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat.  Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna (Underwood, 1986).
Iodium hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol per liter pada 25 0C), tetapi agak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida.  Larutan iodium standar dapat dibuat dengan menimbang langsung iodium murni dan pengenceran dalam botol volumetrik.  Iodium, dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI pekat, yang ditimbang dengan teliti sebelum dan sesudah penembahan iodium.  Akan tetapi biasanya larutan distandarisasikan terhadap suatu standar primer, As2O3 yang paling biasa digunakan. (Underwood, 1986).
Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah natrium tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi terhadap standar primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan natrium tiosulfat. Iodium murni merupakan standar yang paling nyata, tetapi jarang digunakan karena kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering digunakan pereaksi yang kuat yang membebaskan iodium dari iodida, suatu proses iodometrik (Underwood, 1986).
Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (kadang-kadang dinamakan iodometri), adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia. Potensial reduksi normal dari sistem reversibel:
I2(solid) 2e -----> 2I-
adalah 0,5345 volt. Persamaan di atas mengacu kepada suatu larutan air yang jenuh dengan adanya iod padat; reaksi sel setengah ini akan terjadi, misalnya, menjelang akhir titrasi iodida dengan suatu zat pengoksid seperti kalium permanganat, ketika konsentrasi ion iodida menjadi relatif rendah. Dekat permulaan, atau dalam kebanyakan titrasi iodometri, bila ion iodida terdapat dengan berlebih, terbentuklah ion tri-iodida:
I2(aq) + I-  -----> I3-
Karena iod mudah larut dalam larutan iodida. Reaksi sel setengah itu lebih baik ditulis sebagai:
I3- + 2e -----> 3I-
Dan potensial reduksi standarnya adalah 0,5355 volt. Maka, iod atau ion    tri-iodida merupakan zat pengoksid yang jauh lebih lemah ketimbang kalium permanganat, kalium dikromat, dan serium(IV) sulfat (Bassett, J. dkk., 1994).
Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod (iodimetri), digunakan suatu larutan iod dalam kalium iodida, dan karena itu spesi reaktifnya adalh ion tri-iodida, I3-. Untuk tepatnya, semua persamaan yang melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan I3- dan bukan dengan I2, misalnya:
I3- + 2S2O32- ==> 3I- + S4O62-
akan lebih akurat daripada:
I2 + 2S2O32- ==> 2I- + S4O62-
(Bassett, J. dkk., 1994).
Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Underwood, 1986). 
III.    ALAT DAN BAHAN 
A. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, pipet volum, labu ukur 100 mL, erlenmeyer 250 mL, buret, dan beaker gelas., pipet tetes, dan botol semprot.
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah KIO­3, H2SO4 2 N, larutan KI 10%, larutan Na2S2O3, larutan amilum 1%, garam (pembuatan larutan sampel), larutan KCNS atau NH4CNS 10% dan akuades.
IV. PROSEDUR KERJA
A. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3
1.      Dengan teliti ditimbang 0,35 gram KIO3 dilarutkan dalam akuades kemudian memasukan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml
2.      Sampai batas diencerkan, dipipet 25 ml larutan baku KIO3 dan dimasukan dalam Erlenmeyer
3.      2 ml H2SO4 2 N dan 10 ml KI 10 %, ditambahkan kemudian dikocok. Larutan ini dititrasi dengan larutan baku Na2S2O3 sampai larutan berwarna kuning muda.
4.      Dengan akuades 25 ml diencerkan dan ditambahkan dengan 4 ml larutan amilum 10 %, titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang.
B. Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3
  1. Dengan teliti ditimbang ± 1,0 gram garam CuSO4, dilarutkan dalam akuades, dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 mL,
  2. Sampai tanda batas diencerkan, dan mengocok secara sempurna.  Diambil 5 mL larutan ke dalam labu ukur 100 mL, mengencerkan dengan akuades sampai tanda batas, dan dikocok sempurna.
  3. 10 mL larutan sampel dipipet, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, menambahkan 2 mL KI 10%, kemudian dikocok.
  4. I2 yang dihasilkan dititrasi dengan larutan baku thio sampai larutan berwarna kuning muda, kemudian menambahkan 2 mL larutan amilum 1% dan dilanjutkan titrasi sampai warna biru hampir hilang.
  5. 2 mL larutan KCNS 10%, ditambahkan warna biru akan timbul lagi, cepat-cepat dilanjutkan titrasi sampai warna biru tepat hilang. Dilakukan duplo
V.     DATA HASIL PENGAMATAN
A. Hasil dan Perhitungan
1. Hasil
No
Langkah percobaan
Hasil pengamatan
1.
Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan KIO3
-       Menimbang 0,35 gr KIO3 + akuades dalam 100 ml labu ukur, Mengencerkan
-       25 ml  KIO3 + 3 ml H2SO4 2N+ KI 10%,
-       mentitrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning muda
-       + 2 tetes amilum 1% mentitrasi sampai warna biru tepat hilang
Larutan kuning
V titrasi 1 = 0,3 ml
V titrasi 2 = 0,1 ml
V total = 0,4 ml
2.
Penentuan Kadar Cu dengan Na2S2O3
-       Menimbang 1 gr garam
-       Melarutkan dalam akuades dan  mengencerkan
-       10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% dan mengocok
-       Menitrasi sampai warna kuning muda
-       + 2 ml amilum 1% dan titrasi
-       + 2 tetes KCNS 10%

kuning tua menjadi  kuning muda
V = 0-3,6 ml
V = 3,6 – 7,7 ml
V = 7,7 – 8,2 ml
Tidak timbul warna biru lagi
V = 0-3,2 ml
V = 3,2 – 7,3 ml
V = 7,3 – 7,9 ml
V total titrasi 1 dan titrasi 2 = 1,1 ml
V rata-rata = 0,55 ml
2. Perhitungan
-  Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N
Massa KIO3 = 0,36 gr
BM KIO3 = 214,0064 gr/mol
V pengenceran       = 0,1 L
N KIO3 = ………..?
N KIO3 =
=
= 0,1009 N
- Pembakuan Larutan Baku Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3 0,1N
N KIO3 = 0,1009 N
V KIO3 = 25 mL
V Na2S2O3 = 0,4 mL
N Na2S2O3 = ……..?
N Na2S2O3 =
= 6,25N
- Penentuan Kadar Cu2+ dalam CuSO4.5H2O
V Na2S2O3 = 0,55 mL
N Na2S2O3 = 6,25 N
Massa sampel         = 1 gr
% Cu2+ dalam sampel = ……?
2 S2O32- + I2 S4O62- + 2I-
2 mgrek S2O32- = mgrek I2
2 (V x N) S2O32- = mol I2 x e I2
mol I2 = 2
= 2
=  0,0034375 mol
Reaksi :
2 Cu2+ +  4 I- 2 CuI- +  I2
mol Cu2+ = 2 mol I2
= 2 x 3,4375 x 10-3 mol
= 6,8 x 10-3 mol
massa Cu2+ = mol Cu2+ x  BA Cu2+
= 6,8 x 10-3 mol x 63,546 mol
= 0,4321 gr
% Cu dalam sampel         =
= 43,21 %
B.  Pembahasan
Garam KIO3 mampu mengoksidasi iodida menjadi iod secara kuantitatif dalam larutan asam.  Oleh karena itu digunakan sebagai larutan standar dalam proses titrasi Iodometri ini.  Selain itu juga karena sifat Iod itu sendiri yang mudah teroksidasi oleh oksigen dalam lingkungan sehingga iodida mudah terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan hanya membutuhkan sedikit sekali kelebihan ion hidrogen untuk melengkapi reaksinya.  Namun kekurangan utama dari garam ini sebagai standar primer adalah bahwa bobot ekivalennya yang rendah. Larutan standar ini sangat stabil dan menghasilkan iod bila diolah dengan asam :
IO3- +   5I- +   6H+ 3 I2 +     3H2O
Larutan KIO3 memiliki dua kegunaan penting, pertama, adalah sebagai sumber dari sejumlah iod yang diketahui dalam titrasi, ia harus ditambahkan kepada larutan yang mengandung asam kuat, ia tak dapat digunakan dalam medium yang netral atau memiliki keasaman rendah.  Yang kedua, dalam penetapan kandungan asam dari larutan secara iodometri, atau dalam standarisasi larutan asam keras.  Larutan baku KIO3 0,1 N dibuat dengan melarutkan beberapa gram massa kristal KIO3 yang berwarna putih dengan menggunakan aquades dan mengencerkannya.
1. Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3
Percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri yaitu titrasi tidak  langsung dimana mula-mula iodium direaksikan dengan iodida berlebih, kemudian iodium yang terjadi dititrasi dengan natrium thiosulfat.  Larutan baku yang digunakan untuk standarisasi thiosulfat sendiri adalah KIO3 dan terjadi reaksi:
Oksidator + KI                           I2
I2 +  2Na2S2O3 2NaI  +  Na2S4O6
Natrium tiosulfat dapat dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun selalu ada saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karena sifat flouresen atau melapuk-lekang dari garam itu dan karena alasan-alasan lainnya.  Karena itu, zat ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer.  Natrium tiosulfat merupakan suatu zat pereduksi, dengan persamaan reaksi sebagai berikut  :
2S2O32- S4O62- +   2e-
Pembakuan larutan natrium tiosulfat dapat dapat dilakukan dengan menggunakan kalium iodat, kalium kromat, tembaga dan iod sebagai larutan standar primer, atau dengan kalium permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar sekundernya.  Namun pada percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses pembakuan natrium tiosulfat adalah kalium iodat standar.
Larutan thiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri ini harus distandarkan terlebih dahulu  oleh kalium iodat yang merupakan standar primer.  Larutan kalium iodat ini ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi bening.  Dan setelah ditambahkan dengan kalium iodida, larutan berubah menjadi coklat kehitaman.  Fungsi penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam, sebab larutan yang terdiri dari kalium iodat dan klium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman rendah.  Reaksinya adalah sebagai berikut :
IO3- +  5I- +  6H+ →          3I2 +  3H2O
Indikator yang digunakan dalam proses standarisasi ini adalah indikator amilum 1%.  Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah menuap. Pada titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru mendadak hilang dan perubahannya sangat jelas.  Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi.  Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan.  Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi.  Jika larutan iodium dalam KI pada suasana netral dititrasi dengan natrium thiosulfat, maka :
I3- +   2S2O32- 3I- +   S4O62-
S2O32- +   I3- S2O3I- +   2I-
2S2O3I- +  I- S4O62- +  I3-
S2O3I- +  S2O32- S4O62- +  I-
Dari hasil perhitungan diketahui besarnya konsentrasi natrium thiosulfat yang digunakan sebagai larutan baku standar sebesar 6,25 N.
2. Penentuan Kadar Cu2+ dengan Larutan Baku Na2S2O3
Pada penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna larutan sebelum titik akhir titrasi.  Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar primer untuk natrium thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan untuk menetapkan tembaga.  Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V dan karena itu iod merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II).  Tetapi bila ion iodida ditambahkan ke dalam larutan Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).
2Cu2+ +  4I- 2CuI(s) +  I2
Penentuan kadar Cu2+ dalam larutan dengan bantuan larutan natrium tiosulfat yang dilakukan mengencerkan 5 mL sampel garam hingga 100 mL dan mengambil 10 mL hasil pengenceran tersebut untuk ditambahkan dengan larutan KI 10% dan menitrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna coklat tua menjadi larutan yang berwarna kuning muda.  Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan 4 mL larutan amilum 1 % menghasilkan larutan yang semula berwarna kuning muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1% ini dimaksudkan agar memperjelas perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut. kemudian larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru pada larutan tepat hilang.  Untuk lebih memperjelas terjadinya reaksi tersebut, ke dalam larutan ditambahkan amilum.  Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan berwarna biru kehitaman.  Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru hilang dan menjadi putih keruh.
I2 +  amilum                         I2-amilum
I2-amilum  +  2S2O32- 2I- +  amilum  +  S4O6-
Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum adalah adanya sifat adsorpsi pada permukaan endapan tembaga(I) iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya penyerapan iodium dan apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik akhir titrasi akan tercapai terlalu cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir titrasi tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang dititrasi dengan Na2S2O3 akan berubah dari biru menjadi bening, dilakukan penambahan kalium tiosianat KCNS.
Penambahan KCNS menyebabkan larutan kembali berwarna biru. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
2Cu2+ + 2I- + 2SCN- → 2CuSCN ↓ + I2
Endapan tembaga(I) tiosianat yang terbentuk mempunyai kelarutan yang lebih rendah daripada tembaga(I) iodida sehingga dapat memaksa reaksi berjalan sempurna. Selain itu, tembaga(I) tiosianat mungkin terbentuk pada permukaan tembaga(I) iodida yang telah mengendap. Reaksinya sebagai berikut:
CuI­ ↓ + SCN- → CuSCN ↓ + I-
Penambahan larutan KCNS ini bertujuan sebagai larutan yang mengembalikan reaksi penambahan indikator amilum dalam larutan sehingga larutan menjadi kembali biru.  Reaksi yang berlangsung adalah
2Cu2+ +  4 I- 2CuI  +  I2
2S2O32- +  I2 S4O62-+   2I-
dari hasil pengamatan dan perhitungan, didapatkan jumlah volume titrasi larutan natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk merubah larutan dari warna coklat tua menjadi kuning muda setelah penambahan amilum maka larutan menjadi bening dan setelah penambahan KCNS maka larutan menjadi jernih kembali. Dari hasil perhitungan diperoleh massa tembaga pada larutan sampel sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga (%Cu2+) dalam larutan sample tersebut adalah sebesar 43,21 %.
VI.    KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan, perhitungan dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
  1. Ada dua cara analisis menggunakan senyawa iodium yaitu titrasi iodimetri atau dengan iodometri dimana iodium terlebih dahulu dioksidasi oleh oksidator misalnya KI.
  2. Kadar tembaga dalam garam CuSO4.5H2O dapat ditentukan dengan cara iodometri.
  3. Indikator yang dipakai adalah amilum karena amilum sangat peka terhadap iodium dan  terbentuk kompleks amilum berwarna biru cerah, saat ekivalen amilum terlepas kembali.
  4. Massa tembaga pada larutan diketahui sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga dalam larutan sebesar 43,21 %.
DAFTAR PUSTAKA
Basset. J etc. 1994. Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI. Jakarta.

ARGENTOMETRI

Titrasi Pengendapan: Argentometri

argentometri
Titrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan titik akhir titrasi yang mudah diamati.
Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya) dengan menggunakan larutan standart perak nitrat AgNO3. Titrasi argentometri tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan ion halide akan tetapi juga dapat dipakai untuk menentukan merkaptan (thioalkohol), asam lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion fosfat PO43- dan ion arsenat AsO43-.
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara titran dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang tidak mudah larut AgCl.
Ag(NO3)(aq)  +  NaCl(aq) -> AgCl(s)  + NaNO3(aq)
Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi dengan indicator. Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indicator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi dapat diamati. Inikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indicator adsorbsi. Berdasarkan jenis indicator dan teknik titrasi yang dipakai maka titrasi argentometri dapat dibedakan atas Argentometri dengan metode Mohr, Volhard, atau Fajans. Selain menggunakan jenis indicator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk menentukan titik ekuivalen.
Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi antara analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekuivalen mudah ditentukan, akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai sehingga titik ekuivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi antara asam kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengendapan

Keberhasilan proses pengendapan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya temperatur, sifat alami pelarut, pengaruh ion lain, pH, hidrolisis,dan pembentukan kompleks. Pengaruh ini dapat kita jadikan sebagai dasar untuk memahami titrasi argentometri dan gravimetri.
Temperatur
Kelarutan semakin meningkat dengan naiknya suhu, jadi dengan meningkatnya suhu maka pembentukan endapan akan berkurang disebabkan banyak endapan yang berada pada larutannya.
Sifat alami pelarut
Garam anorganik mudah larut dalam air dibandingkan dengan pelarut organik seperti alkohol atau asam asetat. Perbedaan kelarutan suatu zat dalam pelarut organik dapat dipergunakan untuk memisahkan campuran antara dua zat. Setiap pelarut memiliki kapasitas yang berbeda dalam melarutkan suatau zat, begitu juga dengan zat yang berbeda memiliki kelarutan yang berbeda pada pelarut tertentu.
Pengaruh ion sejenis
Kelarutan endapan akan berkurang jika dilarutkan dalam larutan yang mengandung ion sejenis dibandingkan dalam air saja. Sebagai contoh kelarutan Fe(OH)3 akan menjadi kecil jika kita larutkan dalam larutan NH4OH dibanding dengan kita melarutkannya dalam air, hal ini disebabkan dalam larutan NH4OH sudah terdapat ion sejenis yaitu OH- sehingga akan mengurangi konsentrasi Fe(OH)3 yang akan terlarut. Efek ini biasanya dipakai untuk mencuci endapan dalam metode gravimetri.
Pengaruh pH
Kelarutan endapan garam yang mengandung anion dari asam lemah dipengaruhi oleh pH, hal ini disebabkan karena penggabungan proton dengan anion endapannya. Misalnya endapan AgI akan semakin larut dengan adanya kenaikan pH disebabkan H+ akan bergabung dengan I- membentuk HI.
Pengaruh hidrolisis
Jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air maka akan dihasilkan perubahan konsentrasi H+ dimana hal ini akan menyebabkan kation garam tersebut mengalami hidrolisis dan hal ini akan meningkatkan kelarutan garam tersebut.
Pengaruh ion kompleks
Kelarutan garam yang tidak mudah larut akan semakin meningkat dengan adanya pembentukan kompleks antara ligan dengan kation garam tersebut. Sebagai contoh AgCl akan naik kelarutannya jika ditambahkan larutan NH3, hal ini disebabkan karena terbentuknya kompleks Ag(NH3)2Cl.

Metode Fajans

Indicator adsorbsi dapat dipakai untuk titrasi argentometri. Titrasi argentometri yang menggunakan indicator adsorbsi ini dikenal dengan sebutan titrasi argentometri metode Fajans. Sebagai contoh marilah kita gunakan titrasi ion klorida dengan larutan standart Ag+. Dimana hasil reaksi dari kedua zat tersebut adalah:
Ag+(aq)  + Cl-(aq) -> AgCl(s)  (endapan putih)
Endapan perak klorida membentuk endapan yang bersifat koloid. Sebelum titik ekuivalen dicapai maka endapat akan bermuatan negative disebakkan teradsorbsinya Cl- di seluruh permukaan endapan. Dan terdapat counter ion bermuatan positif dari Ag+ yang teradsorbsi dengan gaya elektrostatis pada endapat. Setelah titik ekuivalen dicapai maka tidak terdapat lagi ion Cl- yang teradsorbsi pada endapan sehingga endapat sekarang bersifat netral.
Kelebihan ion Ag+ yang diberikan untuk mencapai titik akhir titrasi menyebabkan ion-ion Ag+ ini teradsorbsi pada endapan sehingga endapan bermuatan positif dan beberapa ion negative teradsorbsi dengan gaya elektrostatis sebagai counter ion.
Indikator adsorbsi merupakan pewarna, seperti diklorofluorescein yang berada dalam keadaan bermuatan negative dalam larutan titrasi akan teradsorbsi sebagai counter ion pada permukaan endapan yang bermuatan positif. Dengan terserapnya ini maka warna indicator akan berubah dimana warna diklorofluorescein menjadi berwarna merah muda. Mekanisme teradsorbsinya indicator ini ditunjukkan oleh gambar berikut ini:
mekanismeindikatoradsorbsi

Metode Mohr

titikakhirtitrasimetodemohr
Konsentrasi ion klorida dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan standart perak nitrat. Endapan putih perak klorida akan terbentuk selama proses titrasi berlangsung dan digunakan indicator larutan kalium kromat encer. Setelah semua ion klorida mengendap maka kelebihan ion Ag+ pada saat titik akhir titrasi dicapai akan bereaksi dengan indicator membentuk endapan coklat kemerahan Ag2CrO4 (lihat gambar). Prosedur ini disebut sebagai titrasi argentometri dengan metode Mohr.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Ag+(aq)  + Cl-(aq) -> AgCl(s) (endapan putih)
Ag+(aq)  +  CrO42-(aq) -> Ag2CrO4(s) (coklat kemerahan)
Penggunaan metode Mohr sangat terbatas jika dibandingkan dengan metode Volhard dan Fajans dimana dengan metode ini hanya dapat dipakai untuk menentukan konsentrasi ion Cl- , CN-, dan Br-.
Titrasi argentometri dengan metode Mohr banyak dipakai untuk menentukan kandungan klorida dalam berbagai contoh air, misalnya air sungai, air laut, air sumur, air hasil pengolahan industri sabun, dan sebgainya.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi dengan metode Mohr adalah titrasi dilakukan dengan kondisi larutan berada pada pH dengan kisaran 6,5-10 disebabkan ion kromat adalah basa konjugasi dari asam kromat. Oleh sebab itu jika pH dibawah 6,5 maka ion kromat akan terprotonasi sehingga asam kromat akan mendominasi di dalam larutan akibatnya dalam larutan yang bersifat sagat asam konsentrasi ion kromat akan terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya endapan Ag2CrO4 sehingga hal ini akan berakibat pada sulitnya pendeteksian titik akhir titrasi. Pada pH diatas 10 maka endapan AgOH yang berwarna kecoklatan akan terbentuk sehingga hal ini akan menghalangi pengamatan titik akhir titrasi. Analit yang bersifat asam dapat ditambahkan kalsium karbonat agar pH nya berada pada kisaran pH tersbut atau dapat juga dilakukan dengan menjenuhkan analit dengan menggunakan padatan natrium hydrogen karbonat.
Disebabkan kelarutan AgCl dan Ag2CrO4 dipengaruhi oleh suhu maka semua titrasi dilakukan pada temperature yang sama. Pengadukan/ pengocokan selama larutan standar ditambahkan sangat dianjurkan disebabkan hal ini dapat mempermudah pengamatan pencapaian titik akhir titrasi dan perak kromat yang terbentuk sebelum titik akhir titrasi dicapai dapat dipecah sehingga terlarut kembali.
Larutan silver nitrat dan endapan perak klorida yang terbentuk harus dilindungi dari sinar matahari hal ini disebabkan perak klorida dapat terdekomposisi menurut reaksi berikut:
AgCl(s)  -> Ag(s)  + ½ Cl2(g)
Konsentrasi ion perak pada saat terjadi titik equivalent titrasi klorida ditentukan dari harga Ksp AgCl yaitu:
[Ag+] = (Ksp AgCl)exp1/2 = 1.35 x 10-5 M
Dan konsentrasi ion kromat yang diperlukan untuk inisiasi terbentukanya endapan perak kromat adalah sebagai berikut:
[CrO42-] = Ksp / [Ag+]exp2 = 0,0066 M
Pada dasarnya untuk mencapai terbentuknya endapan perak kromat maka konsentrasi ion kromat sejumlah tersebut harus ditambahkan akan tetapi konsentrasi ion kromat sejumlah tersbut menyebabkan terbentuknya warna kuning yang sangat intensif pada larutan analit sehingga warna perak kromat akan susah sekali untuk diamati oleh sebab itu maka konsentrasi dibawah nilai tersebut sering digunakan.
Konsekuensi dari penurunan nilai konsentrasi ion kromat ini akan menyebebabkan semakin banyaknya ion Ag+ yang dibutuhkan agar terbentuk endapan Ag2CrO4 pada saat terjadinya titik akhir titrasi, dan hal lain yaitu tidak mudahnya pengamatan warna Ag2CrO4 diantara warna putih AgCl yang begitu banyak akan mendorong semakin besarnya jumlah Ag2CrO4 yang terbentuk.
Dua hal ini akan mempengaruhi keakuratan dan kepresisian hasil analisis oleh sebab itu diperlukan blanko untuk mengoreksi hasil ditrasi. Blanko diperlakukan dengan metode yang sama selama analisis akan tetapi tanpa kehadiran analit.

Metode Volhard

titikakhirtitrasimetodevolhard
Konsentrasi ion klorida, iodide, bromide dan yang lainnya dapat ditentukan dengan menggunakan larutan standar perak nitrat. Larutan perak nitrat ditambahkan secara berlebih kepada larutan analit dan kemudian kelebihan konsentrasi larutan Ag+ dititrasi dengan menggunakan larutan standar tiosianida (SCN-) dengan menggunakan indicator ion Fe3+. Ion besi(III) ini akan bereaksi dengan ion tiosianat membentuk kompleks yang berwarna merah.
Reaksi yang terjadi dalam titrasi argentometri dengan metode volhard adalah sebagai berikut:
Ag+(aq)  + Cl-(aq) -> AgCl(s)  (endapan putih)
Ag+(aq)  + SCN-(aq) -> AgSCN(s) (endapan putih)
Fe3+(aq)  + SCN(aq) -> Fe(SCN)2+ (kompleks berwarna merah)
Titrasi dengan cara ini disebut sebagai titrasi balik atau titrasi kembali. Mol analit diperoleh dari pegurangan mol perak mula-mula yang ditambahkan dengan mol larutan standar tiosianat.  Karena perbandingan mol dari reaksi adalah 1:1 semua maka semua hasil diatas dapat langsung dikurangi.
Mol analit = mol Ag+ total – mol SCN
Aplikasi dari argentometri dengan metode Volhard ini adalah penentuan konsentrasi ion halide. Kondisi titrasi denga metode Volhard harus dijaga dalam kondisi asam disebabkan jika laruran analit bersifat basa maka akan terbentuk endapat Fe(OH)3. Jika kondisi analit adalah basa atau netral maka sebaiknya titrasi dilakukan dengan metode Mohr atau fajans.

Metode Titrasi Argentometri

Pada umumnya titrasi argentometri dapat dibedakan atas tiga metode berdasarkan indicator yang dipakai dalam titrasi tersebut, yaitu:
Indikator kalium kromat K2CrO4
Titrasi argentometri dengan menggunakan indicator ini biasa disebut sebagai argentoetri dengan metode Mohr. Ini merupakan titrasi langsung titrant dengan menggunakan larutan standar AgNO3. Titik akhir titrasi diamati dengan terbentuknya endapan Ag2CrO4 yang brwarna kecoklatan.
Indikator Fe3+
Titrasi argentometri dengan indicator ini disebut sebagai titrasi argentometri dengan metode volhard. Titrasi ini merupakan titrasi tidak langsung dimana larutan standar AgNO3 ditambahkan secara berlebih dan kelebihan ini dititrasi dengan larutan standart SCN-.
Titrasi argentometri dengan indicator adsorbsi disebut sebagai titrasi argentometri dengan menggunakan metode Fajans. Indikator yang dipakai adalah indicator adsorbsi Dimana indicator ini akan berubah warnanya jika teradsorbsi pada permukaan endapan.
Selain menggunakan teknik diatas maka titrasi argentometri juga dapat dilakukan dengan menggunakan indicator yang berupa indicator electrode. Plot antara Esel dengan jumlah titran akan dapat diperoleh kurva titrasi dengan grafik ini maka kita nantinya dapat menentukan titik akhir titrasi.

Indikator Adsorbsi Pada Titrasi Argentometri

Pada titrasi argentometri dengan metode Fajans, Jika AgNO3 ditambahkan pada larutan NaCl yang mengandung flourescein maka titik akhir titrasi akan diamati dengan perubahan warna dari kuning cerah ke merah muda. Warna endapan yang terlihat akan tampak berwarna sedangkan larutannya tampak tidak berwarna hal ini disebabkan adanya indikator adsorbsi yang teradsorb pada permukaan endapan AgCl. Warna dari endapan akan termodifikasi saat indikator teradsorbsi pada permukaan endapan. Reaksi adsorbsi ini dapat dilihat dengan contoh indikator yang bermuatan negatif seperti flouroscein.
Misalnya flouroscein dilambangkan sebagai Fl-. Pada saat larutan berada pada kelebihan ion Cl- yaitu saat titrasi belum mencapai titik ekuivalen maka indikator FL- tidak teradsorbsi pada permukaan endapan, hal ini disebabkan permukaan endapan masih dikelilingi oleh ion Cl- sehingga antara endapan dan FL- saling tolak-menolak
(AgCl)Cl-  + FL- -> tidak ada adsorbsi
akan tetapi begitu terjadi titik ekuivalen maka dengan penambahan sejumlah kecil ion Ag+ untuk mendapatkan titik akhir titrasi maka sekarang dalam larutan terdapat kelebihan jumlah ion Ag+ sehingga pada permukaan endapan sekarang terdapat ion Ag+ dengan demikian FL- akan teradsorbsi melalui gaya elektrostatis pada permukaan endapan sehingga terjadilah perubahan warna indikator.
(AgCl)Ag+  + FL- -> (AgCl)(AgFL) ada reaksi dan indikator teradsorbsi
Semua indikator adsorbsi bersifat ionik sehingga dapat teradsorbsi pada permukaan endapan. Indikator adsorbsi yang dipakai untuk titrasi sulfat dengan ion barium dalam pelarut aseton biasa dipergunakan thorin atau alizarin.
Indikator adsorbsi memiliki keunggulan memiliki eror dalam penentuan titik akhir titrasi yang kecil, dan perubahan warna pada saat teradsorbsi umumnya dapat terlihat dengan jelas. Indikator adsorbsi baik dipergunakan untuk titrasi penendapan dimana endapan yang dihasilkan memiliki luas permukaan yang besar dengan demikian indikator dapat teradsorbsi dengan baik.
Contoh indicator adsorbsi
indikatoradsorbsi
Indikator kalium kromat K2CrO4
Titrasi argentometri dengan menggunakan indicator ini biasa disebut sebagai argentoetri dengan metode Mohr. Ini merupakan titrasi langsung titrant dengan menggunakan larutan standar AgNO3. Titik akhir titrasi diamati dengan terbentuknya endapan Ag2CrO4 yang brwarna kecoklatan.
Indikator Fe3+
Titrasi argentometri dengan indicator ini disebut sebagai titrasi argentometri dengan metode volhard. Titrasi ini merupakan titrasi tidak langsung dimana larutan standar AgNO3 ditambahkan secara berlebih dan kelebihan ini dititrasi dengan larutan standart SCN-.
Titrasi argentometri dengan indicator adsorbsi disebut sebagai titrasi argentometri dengan menggunakan metode Fajans. Indikator yang dipakai adalah indicator adsorbsi Dimana indicator ini akan berubah warnanya jika teradsorbsi pada permukaan endapan.
Selain menggunakan teknik diatas maka titrasi argentometri juga dapat dilakukan dengan menggunakan indicator yang berupa indicator electrode. Plot antara Esel dengan jumlah titran akan dapat diperoleh kurva titrasi dengan grafik ini maka kita nantinya dapat menentukan titik akhir titrasi.

Kurva Titrasi Argentometri

Kurva titrasi argentometri dibuat dengan mengeplotkan antara perubahan konsentrasi analit pada sumbu ordinat dan volume titran pada sumbu aksis. Pada umumnya konsentrasi analit dinyatakan dalam fungsi (p) yaitu pX = -log[X] sedangkan volume titran dalam satuan milliliter. Kurva titrasi dapat dibagi menjadi 3 bagian wilayah yaitu sebelum titik ekuivalen, pada saat titik ekuivalen dan setelah titik ekuivalen. Untuk menggambar kurva titrasi argentometri maka perhatikan contoh berikut ini:
50 mL larutan NaCl 0,1 M dititrasi dengan 0,1 M larutan perak nitrat AgNO3, maka hitunglah konsentrasi Cl- pada saat awal dan pada saat penambahan perak nitrat sebanyak 10 mL, 49,9 mL, 50 mL, dan 60 mL dan diketahui KsP AgCl 1,56.10-10
Pada saat awal titrasi belum terdapat AgNO3 yang ditambahkan sehingga konsentrasi ion klorida adalah sebagai berikut:
[Cl-] = 0,1 M
pCl = -log [Cl-]
= -log 0,1
= 1
Reaksi yang terjadi adalah:
Ag+(aq)  + Cl-(aq) -> AgCl(s)
dari reaksi diatas diketahui bahwa perbandingan mol antara Ag+ dan Cl- adalah 1:1 sehingga perbandingan ini dapat dipakai untuk menentukan perubahan konsentrasi ion klorida.
Saat penambahan 10 mL AgNO3 0,1 M
[Cl-]
= (50×0,1)-(10×0,1) / (50+10)
= 0,067 M
pCl
= -log [Cl-]
= -log 0,067
= 1,17
Saat penambahan 49,9 mL AgNO3 0,1 M
[Cl-]
= (50×0,1)-(49,9×0,1)/(50+49,9)
= 1.10-4
pCl
= -log [Cl-]
= -log 1.10-4
= 4
Saat penambahan 50 mL AgNO3 0,1 M
pada saat penabahan sejumlah ini maka titrasi akan berada pada titik ekuivalen dimana AgNO3 dan NaCl habis bereaksi membentuk AgCl. Pada saat ini maka tidak ada ion Ag+ maupun ion Cl- dalam larutan sehingga konsentrasi Cl ditentukan dengan menggunakan nilai Ksp.
AgCl(s) <-> Ag+(aq) + Cl-(aq)
s                      s                s
Ksp=[Ag+][Cl-]
Ksp = sxs
Ksp = s2
s = Ksp1/2
s = (1,56.10-10)1/2
s = 1,25.10-5
pCl
= -log[Cl-]
= -log 1,25.10-5
= 4,9
Saat penambahan 60 mL AgNO3 0,1 M
pada saat ini maka terdapat kelebihan Ag+ sebanyak 10 mL sehingga sekarang kita menghitung jumlah konsentrasi Ag+ yang berlebih
[Ag+]
= 10x 0,1/(50+60)
= 9,1.10-3
pAg
= -log[Ag+]
= -log 9,1.10-3
= 2,04
karena pCl + pAg adalah 10 (dari harga Ksp) maka pCl = 10-2,04 = 7,96
Dan kurva titrasinya adalah sebagai berikut:
kurvatitrasiargentometri
Pengaruh kurva nilai Ksp terhadap kurva titrasi dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Gambar dibawah ini menunjukkan kurva titrasi 25 mL larutan MX (dengan X adalah Cl-, I-, dan Br-) dengan 0,05 M AgNO3. Dapat dilihat bahwa semakin kecil harga Ksp untuk AgI maka kurvanya akan semakin curam sedangkan semakin besar harga Ksp untuk AgCl maka kurvanya semakin landai. Satu hal lagi manfaat dari kurva titrasi adalah selain dapat dipakai untuk mencari titik ekuivalen maka kurva titrasi juga dapat dipakai untuk mencari konsentrasi kation dan anion disetiap titik dimana titrasi berlangsung.
kurvatitrasiargentometri-1

Senin, 12 Desember 2011

TITRASI ASAM BASA

Materi

1. Definisi titrasi asam-basa
2. Jenis-jenis titrasi asam-basa
3. Cara melakukan titrasi asam-basa
4. Indikator asam-basa
5. Materi pengayaan

Definisi

-          Titrasi adalah pengukuran suatu larutan dari suatu reaktan yang dibutuhkan untuk bereaksi sempurna dengan sejumlah reaktan tertentu lainnya.
-          Titrasi asam basa adalah reaksi penetralan.
-          Jika larutan bakunya asam disebut asidimetri dan jika larutan bakunya basa disebut alkalimetri.

Jenis-Jenis Titrasi Asam Basa

Titrasi asam basa terbagi menjadi 5 jenis yaitu :
1.      Asam kuat - Basa kuat
2.      Asam kuat - Basa lemah
3.      Asam lemah - Basa kuat
4.      Asam kuat - Garam dari asam lemah
5.      Basa kuat - Garam dari basa lemah

1. Titrasi Asam Kuat - Basa Kuat

Contoh :
-          Asam kuat : HCl
-          Basa kuat : NaOH

Persamaan Reaksi :

HCl + NaOH   →   NaCl + H2O

Reaksi ionnya :

H+ + OH-   →   H2O

Kurva Titrasi Asam Kuat Basa Kuat



2. Titrasi Asam Kuat - Basa Lemah

Contoh :
-          Asam kuat : HCl
-          Basa lemah : NH4OH

Persamaan Reaksi :

HCl + NH4OH   →   NH4Cl + H2O

Reaksi ionnya :

H+ + NH4OH   →   H2O + NH4+

Kurva Titrasi Asam kuat – Basa Lemah
 


3. Titrasi Asam Lemah - Basa Kuat

Contoh :
-          Asam lemah : CH3COOH 
-          Basa kuat : NaOH

Persamaan Reaksi :

CH3COOH + NaOH   →   NaCH3COO + H2O

Reaksi ionnya :

H+ + OH-   →   H2O

Kurva Titrasi Asam Lemah – Basa Kuat



4. Titrasi Asam Kuat - Garam dari Asam Lemah

Contoh :
-          Asam kuat : HCl
-          Garam dari asam lemah : NH4BO2

Persamaan Reaksi :

HCl + NH4BO2   →   HBO2 + NH4Cl

Reaksi ionnya :

H+ + BO2-   →   HBO2


5. Titrasi Basa Kuat - Garam dari Basa Lemah

Contoh :
-          Basa kuat : NaOH
-          Garam dari basa lemah : CH3COONH4

Persamaan Reaksi :

NaOH + CH3COONH4   →   CH3COONa + NH4OH

Reaksi ionnya :

OH- + NH4-   →   NH4OH

Cara Melakukan Titrasi Asam Basa

1.      Zat penitrasi (titran) yang merupakan larutan baku dimasukkan ke dalam buret yang telah ditera
2.      Zat yang dititrasi (titrat) ditempatkan pada wadah (gelas kimia atau erlenmeyer).Ditempatkan tepat dibawah buret berisi titran
3.      Tambahkan indikator yang sesuai pada titrat, misalnya, indikator fenoftalien
4.      Rangkai alat titrasi dengan baik. Buret harus berdiri tegak, wadah titrat tepat dibawah ujung buret, dan tempatkan sehelai kertas putih atau tissu putih di bawah wadah titrat
5.      Atur titran yang keluar dari buret (titran dikeluarkan sedikit demi sedikit) sampai larutan di dalam gelas kimia menunjukkan perubahan warna dan diperoleh titik akhir titrasi. Hentikan titrasi !

Set Alat Titrasi



Indikator Asam Basa
1.      Indikator asam basa adalah asam lemah atau basa lemah (senyawa organik) yang dalam larutannya warna molekul-molekulnya berbeda dengan warna ion-ionnya
2.      Zat indikator dapat berupa asam atau basa yang larut, stabil, dan menunjukkan perubahan warna yang kuat.
3.      Indikator asam-basa terletak pada titik ekivalen dan ukuran dari pH

Beberapa indikator asam basa
  

Indikator
Perubahan warna
Pelarut
Asam
Basa
Thimol biru
Merah
Kuning
Air
Metil kuning
Merah
Kuning
Etanol 90%
Metil jingga
Merah
Kuning-jingga
Air
Metil merah
Merah
Kuning
Air
Bromtimol biru
Kuning
Biru
Air
Fenolftalein
Tak berwarna
Merah-ungu
Etanol 70%
thimolftalein
Tak berwarna
biru
Etanol 90%


Materi Pengayaan

Analisis volumetri atau disebut juga titrasi,berdasarkan jenis reaksinya digolongkan menjadi :
1.      Asidimetri / Alkalimetri : analisis yang didasarkan pada reaksi netralisasi
2.      Iodometri / Permanganometri : analisis yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi
3.      Argentometri : analisis yang didasarkan pada penbentukanendapan dari ion Ag+


STOIKIOMETRI


a. Tahap Awal Stoikiometri

Di awal kimia, aspek kuantitatif perubahan kimia, yakni stoikiometri reaksi kimia, tidak mendapat banyak perhatian. Bahkan saat perhatian telah diberikan, teknik dan alat percobaan tidak menghasilkan hasil yang benar.
Salah satu contoh melibatkan teori flogiston. Flogistonis mencoba menjelaskan fenomena pembakaran dengan istilah “zat dapat terbakar”. Menurut para flogitonis, pembakaran adalah pelepasan zat dapat etrbakar (dari zat yang terbakar). Zat ini yang kemudian disebut ”flogiston”. Berdasarkan teori ini, mereka mendefinisikan pembakaran sebagai pelepasan flogiston dari zat terbakar. Perubahan massa kayu bila terbakar cocok dengan baik dengan teori ini. Namun, perubahan massa logam ketika dikalsinasi tidak cocok dengan teori ini. Walaupun demikian flogistonis menerima bahwa kedua proses tersebut pada dasarnya identik. Peningkatan massa logam terkalsinasi adalah merupakan fakta. Flogistonis berusaha menjelaskan anomali ini dengan menyatakan bahwa flogiston bermassa negatif.
Filsuf dari Flanders Jan Baptista van Helmont (1579-1644) melakukan percobaan “willow” yang terkenal. Ia menumbuhkan bibit willow setelah mengukur massa pot bunga dan tanahnya. Karena tidak ada perubahan massa pot bunga dan tanah saat benihnya tumbuh, ia menganggap bahwa massa yang didapatkan hanya karena air yang masuk ke bijih. Ia menyimpulkan bahwa “akar semua materi adalah air”. Berdasarkan pandangan saat ini, hipotesis dan percobaannya jauh dari sempurna, tetapi teorinya adalah contoh yang baik dari sikap aspek kimia kuantitatif yang sedang tumbuh. Helmont mengenali pentingnya stoikiometri, dan jelas mendahului zamannya.
Di akhir abad 18, kimiawan Jerman Jeremias Benjamin Richter (1762-1807) menemukan konsep ekuivalen (dalam istilah kimia modern ekuivalen kimia) dengan pengamatan teliti reaksi asam/basa, yakni hubungan kuantitatif antara asam dan basa dalam reaksi netralisasi. Ekuivalen Richter, atau yang sekarang disebut ekuivalen kimia, mengindikasikan sejumlah tertentu materi dalam reaksi. Satu ekuivalen dalam netralisasi berkaitan dengan hubungan antara sejumlah asam dan sejumlah basa untuk mentralkannya. Pengetahuan yang tepat tentang ekuivalen sangat penting untuk menghasilkan sabun dan serbuk mesiu yang baik. Jadi, pengetahuan seperti ini sangat penting secara praktis.
Pada saat yang sama Lavoisier menetapkan hukum kekekalan massa, dan memberikan dasar konsep ekuivalen dengan percobaannya yang akurat dan kreatif. Jadi, stoikiometri yang menangani aspek kuantitatif reaksi kimia menjadi metodologi dasar kimia. Semua hukum fundamental kimia, dari hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap sampai hukum reaksi gas semua didasarkan stoikiometri. Hukum-hukum fundamental ini merupakan dasar teori atom, dan secara konsisten dijelaskan dengan teori atom. Namun, menarik untuk dicatat bahwa, konsep ekuivalen digunakan sebelum teori atom dikenalkan.

b. Massa Atom Relatif dan Massa Atom

Dalton mengenali bahwa penting untuk menentukan massa setiap atom karena massanya bervariasi untuk setiap jenis atom. Atom sangat kecil sehingga tidak mungkin menentukan massa satu atom. Maka ia memfokuskan pada nilai relatif massa dan membuat tabel massa atom (gambar 1.3) untuk pertamakalinya dalam sejarah manusia. Dalam tabelnya, massa unsur teringan, hidrogen ditetapkannya satu sebagai standar (H = 1). Massa atom adalah nilai relatif, artinya suatu rasio tanpa dimensi. Walaupun beberapa massa atomnya berbeda dengan nilai modern, sebagian besar nilai-nilai yang diusulkannya dalam rentang kecocokan dengan nilai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa ide dan percobaannya benar.
Kemudian kimiawan Swedia Jons Jakob Baron Berzelius (1779-1848) menentukan massa atom dengan oksigen sebagai standar (O = 100). Karena Berzelius mendapatkan nilai ini berdasarkan analisis oksida, ia mempunyai alasan yang jelas untuk memilih oksigen sebagai standar. Namun, standar hidrogen jelas lebih unggul dalam hal kesederhanaannya. Kini, setelah banyak diskusi dan modifikasi, standar karbon digunakan. Dalam metoda ini, massa karbon 12C dengan 6 proton dan 6 neutron didefinisikan sebagai 12,0000. Massa atom dari suatu atom adalah massa relatif pada standar ini. Walaupun karbon telah dinyatakan sebagai standar, sebenarnya cara ini dapat dianggap sebagai standar hidrogen yang dimodifikasi.

Soal Latihan 1.1 Perubahan massa atom disebabkan perubahan standar. Hitung massa atom hidrogen dan karbon menurut standar Berzelius (O = 100). Jawablah dengan menggunakan satu tempat desimal.
Jawab.
Massa atom hidrogen = 1 x (100/16) = 6,25 (6,3), massa atom karbon = 12 x (100/16)=75,0
Massa atom hampir semua unsur sangat dekat dengan bilangan bulat, yakni kelipatan bulat massa atom hidrogen. Hal ini merupakan kosekuensi alami fakta bahwa massa atom hidrogen sama dengan massa proton, yang selanjutnya hampir sama dengan massa neutron, dan massa elektron sangat kecil hingga dapat diabaikan. Namun, sebagian besar unsur yang ada secara alami adalah campuran beberapa isotop, dan massa atom bergantung pada distribusi isotop. Misalnya, massa atom hidrogen dan oksigen adalah 1,00704 dan 15,9994. Massa atom oksigen sangat dekat dengan nilai 16 agak sedikit lebih kecil.

Contoh Soal 1.2 Perhitungan massa atom. Hitung massa atom magnesium dengan menggunakan distribsui isotop berikut: 24Mg: 78,70%; 25Mg: 10,13%, 26Mg: 11,17%.
Jawab:
0,7870 x 24 + 0,1013 x 25 +0,1117 x 26 = 18,89+2,533+2,904 = 24,327(amu; lihat bab 1.3(e))
Massa atom Mg = 18,89 + 2,533 + 2,904 =24.327 (amu).
Perbedaan kecil dari massa atom yang ditemukan di tabel periodik (24.305) hasil dari perbedaan cara dalam membulatkan angkanya.

c. Massa Molekul dan Massa Rumus

Setiap senyawa didefinisikan oelh rumus kimia yang mengindikasikan jenis dan jumlah atom yang menyususn senyawa tersebut. Massa rumus (atau massa rumus kimia) didefinisikan sebagai jumlah massa atom berdasarkan jenis dan jumlah atom yang terdefinisi dalam rumus kimianya. Rumus kimia molekul disebut rumus molekul, dan massa rumus kimianya disebut dengan massa molekul.5 Misalkan, rumus molekul karbon dioksida adalah CO2, dan massa molekularnya adalah 12 +(2x 6) = 44. Seperti pada massa atom, baik massa rumus dan massa molekul tidak harus bilangan bulat. Misalnya, massa molekul hidrogen khlorida HCl adalah 36,5. Bahkan bila jenis dan jumlah atom yang menyusun molekul identik, dua molekul mungkin memiliki massa molekular yang berbeda bila ada isostop berbeda yang terlibat.
Tidak mungkin mendefinisikan molekul untuk senyawa seperti natrium khlorida. Massa rumus untuk NaCl digunakan sebagai ganti massa molekular.

Contoh Soal 1.3 Massa molekular mokelul yang mengandung isotop.
Hitung massa molekular air H2O dan air berat D2O (2H2O) dalam bilangan bulat.
Jawab
Massa molekular H2O = 1 x 2 + 16 = 18, massa molekular D2O = (2 x 2) + 16 = 20
Perbedaan massa molekular H2O dan D2O sangat substansial, dan perbedaan ini sifat fisika dan kimia anatara kedua jenis senyawa ini tidak dapat diabaikan. H2O lebih mudah dielektrolisis daripada D2O. Jadi, sisa air setelah elektrolisis cenderung mengandung lebih banyak D2O daripada dalam air alami.

d. Kuantitas Materi dan Mol

Metoda kuantitatif yang paling cocok untuk mengungkapkan jumlah materi adalah jumlah partikel seperti atom, molekul yang menyusun materi yang sedang dibahas. Namun, untuk menghitung partikel atom atau molekul yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat sangat sukar. Alih-alih menghitung jumlah partikel secara langsung jumlah partikel, kita dapat menggunakan massa sejumlah tertentu partikel. Kemudian, bagaimana sejumlah tertentu bilangan dipilih? Untuk
menyingkat cerita, jumlah partikel dalam 22,4 L gas pada STP (0, 1atm) dipilih sebagai jumlah standar. Bilangan ini disebut dengan bilangan Avogadro. Nama bilangan Loschmidt juga diusulkan untuk menghormati kimiawan Austria Joseph Loschmidt (1821-1895) yang pertama kali dengan percobaan (1865).
Sejak 1962, menurut SI (Systeme Internationale) diputuskan bahwam dalam dunia kimia, mol digunakan sebagai satuan jumlah materi. Bilangan Avogadro didefinisikan jumlah atom karbon dalam 12 g 126C dan dinamakan ulang konstanta Avogadro.
Ada beberapa definisi “mol”:
(i) Jumlah materi yang mengandung sejumlah partikel yang terkandung dalam 12 g 12C. (ii) satu mol materi yang mengandung sejumlah konstanta Avogadro partikel.
(iii) Sejumlah materi yang mengandung 6,02 x 1023 partikel dalam satu mol.

e. Satuan Massa Atom (sma)

Karena standar massa atom dalam sistem Dalton adalah massa hidrogen, standar massa dalam SI tepat 1/12 massa 12C. Nilai ini disebut dengan satuan massa atom (sma) dan sama dengan 1,6605402 x 10–27 kg dan D (Dalton) digunakan sebagai simbolnya. Massa atom didefinisikan sebagai rasio rata-rata sma unsur dengan distribusi isotop alaminya dengan 1/12 sma 12C.


Latihan
1.1 Isotop. Karbon alami adalah campuran dua isotop, 98,90(3)% 12C dan 1,10(3)% 13C. Hitung massa atom karbon.
1.1 Jawab. Massa atom karbon = 12 x 0,9890 + 13 x 0,0110 = 12,01(1)

1.2 Konstanta Avogadro. Intan adalah karbon murni. Hitung jumlah atom karbon dalam 1 karat (0,2 g) intan.
1.2 Jawab. Jumlah atom karbon = [0,2 (g)/12,01 (g mol-1)] x 6,022 x 1023(mol-1) = 1,00 x 1022 

1.3 Hukum perbandingan berganda. Komposisi tiga oksida nitrogen A, B dan C diuji. Tunjukkan bahwa hasilnya konsisten dengan hukum perbandingan berganda: massa nitrogen yang bereaksi dengan 1 g oksigen dalam tiap oksida: Oksida A: 1,750 g, oksida B: 0,8750 g, oksida C: 0,4375 g.
1.3 Jawab. Bila hukum perbandingan berganda berlaku, rasio massa nitrogen yang terikat pada 1 g oksigen harus merupakan bilangan bulat.
A/B = 1,750/0,875 = 2/1
B/C = 0,875/0,4375 = 2/1
A/C = 1,750/0,4375 = 4/1

Hasilnya cocok dengan hukum perbandingan berganda.

1.4 Massa atom. Tembaga yang ada di alam dianalisis dengan spektrometer massa. Hasilnya: 63Cu 69,09% 65Cu 30,91%. Hitung massa atom Cu. Massa 63Cu dan 65Cu adalah 62,93 dan 64,93 sma.
1.4 Jawab: Massa atom Cu=62,93x (69,09/100) + 64,93x (30,91/100) = 63,55 (sma)

1.5 Mol. Bila kumbang menyengat korbannya, kumbang akan menyalurkan sekitar 1 mg (1x 10-6 g) isopentil asetat C7H14O2. Senyawa ini adalah komponen fragrant pisang, dan berperan sebagai materi pentransfer informasi untuk memanggil kumbang lain. Berapa banyak molekul dalam 1 mg isopentil asetat?
1.5 Jawab. Massa molekular isopentil asetat adalah M = 7 x 12,01 + 14 x 1,008 + 2 x 16,00 = 130.18 (g mol-1). Jumlah mol: 1,0 x 10-6(g)/130,18(g mol-1) = 7,68 x 10-9(mol) Jumlah molekul 1 mg isopentil asetat: 7,68 x 10-9(mol) x 6,022 x 1023 (mol-1) = 4,6 x1015 

1.6 Massa molekul hidrogen. Massa atom hidrogen adalah 1,008. Hitung massa molekul hidrogen.
1.6 Jawab. Massa molar hidrogen adalah 2,016 x 10-3 kg mol-1. Massa satu molekul hidrogen = [2,016 x 10-3 (kg mol-1)]/[6,022 x 1023(mol-1) = 3,35 x 10-27(kg).